Awalnya hanya sebuah benda mati, dengan rahmatNya hujan turun memberi kehidupan. Biji-bijian itu kemudian tumbuh, terdaftar sebagai anggota baru di dunia yang kita hinggapi. Menghiasi taman-taman kota, trotoar-trotoar jalan, hingga rumah-rumah kita sendiri.
Namun setelah ia tumbuh besar dan menghijau, tak ada yang bisa di raih. Dibiarkan menguning dan jatuh tertiup angin. Kemudian “kress..” begitulah suara khas daun kering saat terinjak-injak pejalan kaki.
Dengan rahmatNya anak ku lahir. Kami berdua tersenyum bahagia, ia menjadi anggota keluarga ke tiga kami. Menghiasi hari-hari kami dan malam-malam yang kami lewati. Ibunya berkata, “Anak ku akan selalu ada di dalam hati”. Aku tersenyum melihat mereka begitu dekat saling menyayangi.
Setiap sepulang kerja, kami setia mendengarnya bercerita. Dari mulai mba pengasuh yang membawanya main, teman-teman kecilnya yang suka berlari, hingga sekolah TK tempat dimana ia menuntut ilmu setiap pagi. “Bu Tuti memberikan ku hadiah juara 1 menulis cerita abi”, kata anak ku di depan pintu yang sebelumnya menanti ke pulangan kami. Aku berharap ia tumbuh menjadi anak yang berbakti.
Hari demi hari berganti, anak kami mulai tumbuh dan mulai memperhatikan penampilannya. Waktunya berbenah diri mungkin lebih lama daripada saat ia sedang berbenah hati. Sholat 5 waktunya sudah tak seindah saat ia masih kecil, sementara ia sudah terlihat rapi 1 jam sebelum teman-temannya sampai memanggil.
Minggu demi minggu berlalu, anak kami bertambah dewasa dan sudah tidak lugu. Ia mulai senang dengan hiburan dan permainan. Entah darimana ia mengenalnya, tapi sudah sejak lama saat aku teringat ia menunggu kami sambil melakukan sesuatu, menunggu orang tua nya sampai dirumah kemudian membukakan pintu. Kami mulai kehilangan dan merasa rindu. Saat ini separuh hidupnya habis dengan benda persegi panjang itu, yang selalu berbunyi sepanjang waktu, mengalahkan aku dan istriku.
Bulan depan rencana wisudanya, kami bersyukur ia lulus kuliah, beberapa saat setelahnya melanjutkan pendidikan keluar Indonesia, tanpa meminta orang tua, ia punya penghasilan sendiri dengan usahanya. “Tapi… kenapa aku merasa sedih?”, Aku berbisik kepada diriku sendiri. Kulihat kesebelah kiri… istriku sedang menangis sambil berdiri menatap kepergian anak kami.
Tahun ini ia belum juga dapat kembali. Setiap kami mencoba menghubungi, nada panggilan sibuk menggantikan suara anak kami. Sekarang kami sudah tidak bekerja lagi, minimal setiap minggu aku dan istriku datang ke masjid untuk mengaji. Kami berharap bekal untuk akhirat nanti. Aku selalu memperhatikan istriku saat kami berada di masjid bersama, istriku selalu menatap anak-anak kecil yang duduk bersama orang tuanya. Matanya mulai berkaca-kaca, entah itu rindu, menyesal, bahagia, atau ketiganya.
Mereka bilang kami berhasil, berbanding terbalik dengan apa yang kami rasakan. Hatiku selalu terguncang saat melihat tetangga kami. Mungkin ia sudah tidak lagi dapat berjalan, namun setiap pagi anaknya mendampingi, membawanya keluar bertemu matahari. Aku tak ingin menyebutnya berbakti, mungkin lebih terlihat cinta yang tulus dari hati, aku iri.
Aku sangat mengerti, aku sangat memahami waktu tak mungkin terulang lagi. Aku juga tak mau berkata “seandainya ada kesempatan lagi”. Tapi jika aku memiliki anak lagi.. aku akan membawanya kemasjid setiap hari, bersama istriku dan kami mengaji.
Bukan seperti ini, setelah dengan rahmatNya ia tumbuh dan bersemi, kemudian jatuh dan mengering. selanjutnya “kress..” terinjak-injak pejalan kaki..
Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa”. (Qs Ali Imran 3 : 38)


