Awalnya mataku ditutup kemudian masuk ke museum, saat kemudian guide tunanetra menjelaskan kepadaku tentang isi dan sejarah yang ada di museum, aku berkata dalam hati “apa ini?” Dia menjelaskan ini dan itu sementara aku tidak dapat melihat apapun. “Raba? Mereka menyuruh aku meraba? Apa maksudnya? Bukankah semua isi museum di lapisi kaca? Atau setidaknya ada pembatas pengunjung!” Hatiku mulai merasa ini tak berguna, membosankan”.
Seketika setelah aku mengatakannya, aku baru menyadari, seperti aku sekarang inilah perasaan mereka saat di tuntun oleh orang yang sempurna pengelihatannya yang kemudian menjelaskan tentang isi di setiap sisi kegemerlapnya dunia. Gemerlap? tidak! Hanya Gelap! Kemudian mulai muncul cahaya-cahaya kecil yang membentuk imajinasi di dalam kepala.
Cucuran keringat mulai deras jatuh dari kepala, berusaha membayangkan sekaligus mempertahankan konsentrasi tangan yang meraba-raba untuk menentukan arah perjalanan. Hingga setelahnya aku tak sadar ternyata cucuran air juga keluar tetes demi tetes dari mataku sehingga bercampur dengan keringat.
Ya Tuhan, aku khawatir bahaya dari dunia yang aku tidak mampu merasakan cahaya di dalamnya. Sambil sedikit terisak aku berkata dalam hati “ini yang mereka rasakan! Saat mungkin orang lain tersenyum memandangi indahnya dunia, aku hanya bisa mendengarnya”.
Akhirnya aku mengerti kenapa tangan kiri para tunanetra selalu agak naik setengah keatas, adalah ungkapan rasa khawatir dan gelisah karena takut sesuatu terjadi kepada mereka, tangannya menunjukan pertahanan.
Sedikit aku coba menghibur diriku dengan candaan bersama teman. Yang terkadang kami masih suka menabrak kaca atau dinding pembatas. Namun belum sempat aku selesai menghibur diri, seorang guide tour kami berkata, “setelah ini kita akan menuju keluar, menyebrang jalan hingga ke tempat makan siang ya”. “Hah? Keluar? Nyebrang jalan?!” Tak sengaja aku ucapkan kepadanya dan mereka kemudian menenangkan dan meyakinkan keamanan.
Masih dalam keadaan tertutup mata, kami turun tangga hingga keluar jalan. Suara pejalan, pedagang hingga pengendara masuk lewat telinga hingga memenuhi pikiranku. “Tidak tidak, bagaimana kalau aku tak sengaja tersandung jalan yang tak rata? Atau mungkin terpeleset plastik es?” Belum selesai hatiku bertanya-tanya, suara tombol lampu penyebrang jalan berbunyi, tanda kami harus segera berjalan ke seberang.
Rasa malu, khawatir, dan takut bersekongkol menyerang hatiku. Bagaimana jika ada motor yang kencang melaju, sedang ia tidak memperhatikanku? Bagaimana jika aku menabrak gerobak pedagang yang membuat ia berlaku kasar terhadap ku?
Asap rokok yang aku takut menegurnya karena menerpa wajahku, bagaimana aku menegurnya? Sedang aku tidak bisa melihat? Jika dia marah, jelas aku akan kalah bertarung dengannya! “Kiri-kiri kanan-kanan” suara perempuan di pinggir jalan yang meledekku, lantas aku harus berbuat apa?
Semua ke khawatiran itu harus aku seimbangkan dengan konsentrasi mempertahankan kehati-hatian kemana akan melangkah. Hingga akhirnya sampai di tempat makan siang, aku dengan keras dan jelas dalam hati berkata, “lho iya? ini hanya pura-pura!. Aku masih dapat melihat, aku di tuntun dan dijaga. Sekeras dan seberat ini yang sudah ku rasakan, bagaimana dengan mereka yang hidup dengan kenyataan tanpa cahaya?”
Karena saat teman-teman ku terlihat senang dengan permainan ini dan kemudian tertawa.
Diam-diam aku menangis sambil melebarkan senyum untuk menutupi air mata.
Sungguh kita sangat mesti merasa bersyukur, penglihatan ini bukanlah hal yang murah. Sungguh mereka sangat mesti bersyukur, hilang sudah 1 hisab mereka. Mereka adalah manusia kelas 1, yang dapat mengukur dan menjaga kestabilan rasa syukurnya dalam menjalani hidup (:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Qs Al Isra 17 : 36)


