Ada Gemuruh Besar Dalam Hati

Setelah selesai shalat dhuha, aku pergi berangkat kuliah. Di tengah perjalanan aku bertemu gerobak yang bersandar di aspal jalan dengan botol plastik berselimut kardus di dalamnya.

Saat itu aku melihat sesosok wanita tua, dengan kerudung hitam yang berteman dengan lumpur manis menutupi tubuhnya hingga kebawah. Dengan izin Nya, cahaya matahari, asap kendaraan, dan debu jalanan setuju menghiasi kulit lembutnya dengan warna coklat tua.

Asal kalian tahu sebelumnya aku tak menyangka, bahwa dialah seorang, wanita tua yang menopang gerobak beserta penduduknya. Tapi itulah kenyataannya, karena aku tak melihat ada sosok pejantan berada disekitarnya. Setelah diam sejenak, aku putuskan mengubah arah menuju warung terdekat. Ku tajamkan penglihatan mencari makanan terbaik yang bisa kudapat.

Dahulu, ibuku sering sekali bercerita sifat dan kebesaran Allah, bahwa “Dia maha pengasih, maha penyayang dan menyayangi hambanya yang saling berbagi kasih dan sayang”. Dari sekian banyak kalimat, itu yang paling kuingat.

“Ini pak 1 berapa ?” ku tunjukan 1 buah roti dengan rasa yang paling kusuka. “empat ribu rupiah dek, eh anak kecil tolong minggir sedikit ya ada yang mau beli”, kata bapak penjual sambil menatap tegas. Aku menoleh mengikuti arah tatapannya, ternyata ada 2 orang anak kecil sedang menghitung uang logam ratusan perak.

“Hey hey, kalian sedang apa?”, aku bertanya kepada mereka. “Kita mau beli roti itu bang!”, kata si anak lelaki. Sementara si perempuan kecil masih sibuk mengoyak kantung celananya berharap ada receh yang mengumpat atau tertinggal.

Cerita-cerita ibu ku terlintas lagi, menggerakan mulut ku dan mengatakan, “saya ambil 3 bang”, sambil memberikan uang 12 ribuan. Walau tidak banyak, aku coba berbagi kepada si adik perempuan dan si kakak laki-laki masing-masing 1 roti. Segera setelahnya aku berlari kecil ke wanita tua tadi, khawatir ia telah pergi.

“Assalaamu’alaikum bu, maaf sekiranya mengganggu. Aku Abdullah, sedari kecil ibuku selalu mengingatkanku, “berbagilah dengan sahabatmu”. Sejak tadi aku berjalan melihat ibu, aku berharap dapat menjadi sahabat ibu dan memberikan ini untuk memenuhi permintaan ibuku. Aku berharap ibu mau menerima sebagian dari bekalku”, sambil kuberikan roti yang tadi ku beli. Ia tersenyum, tapi tanpa sepatah katapun! Kemudian ia menerima roti yang kuberikan.

Setelah hatiku merasa lebih baik, aku hendak melanjutkan perjalanan kuliah ku. Sepertinya kereta mulai tak sabar menunggu keterlambatan ini. Namun belum seberapa jauh kakiku menggores jalan yang telah lama meminta perbaikan, tiba-tiba kedua kakak adik yang kutemukan di warung tadi berlari sambil melebarkan senyum memanggil, “ibu ibu ibu..”. Langkahku terhenti, alisku mengerut tanda penasaran.

Wanita tua itu segera membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, merintis arti selamat datang dirumah, tempat kalian kembali. Tapi lagi-lagi ia tak berbicara sepatah katapun. Namun setelah dekapan mereka yang membuat ku iri selesai, wanita tua itu menggerakkan tangan dan jari-jemarinya. Aku tahu sekarang, ia tidak dapat mendengar dunia ini berbicara.

Tunggu dulu, lalu bagaimana ia dapat mengerti pembicaraan ku tadi? Baiklah nanti ku pikirkan lagi. Secepat kilat setelah senyumannya menyambar anak-anaknya, ia mengeluarkan sepotong roti yang tak seberapa ku berikan tadi. Ya ampun, ku kira ia akan melahapnya sendiri. Tiga bagian ia putuskan kepada sang roti, satu bagian ia sajikan untuk mengokohkan semangat pangeran masa depannya, satu bagian lagi ia siapkan untuk menyempurnakan senyum putri kesayangannya.

“Loh kemana satu bagian lagi? Ku kira ia akan segera memakannya? Kenapa ia sembunyikan di belakang punggungnya?”, entah kenapa aku terlalu serius memperhatikan mereka. Tak lama kedua anaknya menghabiskan potongan roti mereka, segera wanita tua itu bermaksud mengeluarkan bagian yang ketiga.

Oh Tuhan, ia hendak mengagetkan anak-anaknya, bahwa ia masih punya kejutan lain. Belum sempat ia memberikan potongan ketiga, anak-anaknya lebih dulu menunjukan kasih sayang mereka, dua roti utuh berjalan menuju sang ibu. Ia terdiam, mungkin bertanya-tanya darimana roti itu, atau terpaku perasaan bahagia karena kedua anak yang menjadi alasan ia untuk tetap kuat telah menunjukan cinta mereka.

“Apa ini?” mataku mulai terlihat buram, “apa air mata sampai keluar karena ingin melihat mereka juga?” Kurasa iya. Tak pernah terlintas di kepalaku sebelumnya, ternyata mereka sebahagia ini. Ditengah-tengah kemegahan kota, malah kesederhanaan mereka yang telah menerangi perasaanku.

Baiklah mataku semakin buram, saatnya mengusap airmata yang mulai tak tertampung ini dan melanjutkan episode cerita pagi mereka. Aku tahu, aku yakin, aku menebak ia akan mengambil roti dan memakannya bersama.

Oh tidak! oke aku salah. Selagi kedua anaknya memeluknya, ia menyimpan 1 roti di antara kain-kain yang menutupi tubuhnya. Membuka 1 roti lagi yang di belah dua untuk kedua anaknya, sedang sisa roti sebelumnya ia berikan kepada tubuh tuanya.

Tak pernah kubayangkan 3 potong roti dapat memberikan kebahagiaan sebesar itu. Teganya aku mengurangi kebahagian mereka hanya dengan 3 potong roti, kenapa hanya 3? kenapa bukan nasi bungkus atau mungkin yang lebih baik?

“Asal kau tahu, bahkan tanpa roti mu Allah akan memberikan kebahagian juga kepada mereka. Tak ada yang dapat membendung rahmatNya. Kenapa kau hanya memberikan mereka 3 potong roti murah?” Aku melabrak diri sendiri.

Ada gemuruh besar dalam hati ku, meluap keatas hingga menggerakan tangan ku untuk menyeka air mata, karena mereka tak mau berhenti dan main keroyokan. Ada rasa syukur, ada juga rasa sesal, mereka memberiku banyak pelajaran. Bahagia adalah Allah yang memberikan kepada hambanya yang bersyukur, bukan datang dari material dunia yang sebentar lagi musnah.

Dan kurasa tak perlu aku bertanya untuk apa ibu itu menyimpan 1 bungkus terkahir diantara sela-sela kainnya. Karena kali ini aku yakin benar. Pastilah untuk kedua belahan jiwanya sore nanti. (,:

“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm 53:43).

Share to ur friends~

Related Posts