Ikhlas dalam melakukan ibadah dan ittiba’ (mengikuti tuntunan) Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba. Perkara ikhlas merupakan amalan hati yang sangat berat kecuali kepada orang yang diberi taufik oleh Allah azza wa jalla. Mendidik karakter ikhlas kepada anak juga butuh kesungguhan, latihan, dan difahamkan terus menerus agar anak ikhlas dalam menuntut ilmu dan juga ikhlas dalam beribadah.
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah (wafat 733H) menjelaskan, ikhlas dalam permulaan menuntut ilmu bagi anak-anak tidak boleh menjadi syarat. Karena jika demikian, mungkin anak-anak bahkan para pemula yang beranjak dewasa tidak akan mendapat kesempatan belajar agama. (Tadzkiratul As-Sami’ wa al-mutakalim fi Adab al ‘Alim wa al-Mutakallim, hal.54).
Realitanya mungkin anak-anak belum memahami hakikat ikhlas. Mereka belajar bisa jadi karena diperintahkan orang tua, pengaruh teman, atau sekolah dan belajar agama karena memang di lingkungannya hal ini menjadi kebiasaan dan tradisi.
Orang tua dan pendidik hendaknya terus memotivasinya agar niatnya ikhlas untuk mencari ridha dan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Menanamkan karakter ikhlas butuh kesabaran, dimana jiwa anak terkadang mudah terpengaruh hal-hal yang bisa merusak niat lurusnya. Pujian yang berlebihan terkadang membuat anak sombong dan merasa bangga dengan kemampuannya. Padahal prestasi dan kesuksesan tidak lain karena pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Disini peran penting orang tua dan pendidik agar fitrah dan fikrah (pemikiran) anak lurus dan tidak tertipu oleh kelebihan yang dimilikinya.
Sudah pasti keteladanan orang tua dan pendidik dibutuhkan agar karakter ikhlas betul-betul dirasakan anak. Anak belajar dan beramal karena ia sendiri butuh semua ini. Sebisa mungkin hindari banyak kata-kata ancaman dan tumbuhkan perasaan cinta dalam melakukan suatu kebaikan. Kasih sayang dan kedekatan yang serasi dan harmonis dengan anak akan membantunya untuk bertahap memiliki karakter ikhlas.
“Barangsiapa yang menutut ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti.” (HR Abu Dawud : 3644)


