Satu peristiwa yang sampai hari ini masih ku ingat, saat itu desa ku dilanda paceklik, dan desa kami mengalami berbagai kesulitan. Ketika itu kepala desa mengumpulkan masyarakat untuk berpidato, “Bersabarlah kalian wahai rakyat ku. Perbanyak shalat diwaktu malam, perbanyak bersedekah, dan in syaa Allah akan datang pertolongan Allah”.
Pagi hari esoknya aku melihat kafilah dagang yang penuh dengan bahan makanan pokok, entah darimana. Seketika berkumpulah para pedagang kaya, termasuk dari kaum yang biasa memonopoli perdagangan di daerah kami, mereka berebut untuk membeli kemudian memonopoli. Sedang kami rakyat miskin hanya bisa melihat.
Pemilik kafilah berkata, “Berapa banyak kalian akan memberi saya keuntungan?”
“Sepuluh menjadi duabelas.” Kata salah satu pengusaha kaya.
“Ada yang lebih tinggi?” Tanya pemilik kafilah.
“Sepuluh menjadi limabelas.” Pengusaha lain menawar.
“Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal seluruh pengusaha besar desa berkumpul di sini?” seseorang menanggapi.
Pemilik kafilah bertanya, “Ada yang berani memberi keuntungan sepuluh menjadi seratus, atau sepuluh kali lipat?”
“Apa ada yang mau membayar sebanyak itu?” kata seorang pengusaha kikir.
“Ada, yakni Allah ﷻ !” Kata pemilik kafilah dengan tegas.
Dan pemilik kafilah membagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada warga fakir miskin desa kami dan mereka yang memerlukannya. Sebelumnya aku bertanya-tanya siapa orang yang mau membagikan hartanya seperti itu. Belakangan aku baru tau bahwa dia adalah Utsman, anak angkat kepala desa yang berhasil dengan usahanya di kota.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Qs Al-Baqarah : 261)


